Di era modern seperti saat ini, setiap industri bergerak mengikuti perkembangan zaman dengan berbagai penyesuaian. Begitu juga para pelaku industri kuliner. Berbagai inovasi dan alat masak modern digunakan dengan tujuan menciptakan sajian secara efisien namun tetap berkelas. Sayangnya, ada sesuatu yang seolah hilang di tengah gemerlap berbagai teknologi tersebut, yakni cita rasa orisinil dari makanan sendiri.
Kehadiran kompor gas atau listrik misalnya, memang membuat proses memasak menjadi lebih mudah. Akan tetapi, berkreasi menciptakan hidangan dengan bermodal arang akan menjadi lebih istimewa, terutama karena memasak dengan elemen ini butuh keahlian yang tak main-main. Bukan hanya mengingatkan pada masa lalu yang menjadi ‘barang’ mewah di era modern, proses memasak dengan arang juga mampu menghapus kerinduan pada cita rasa asli makanan yang sulit ditemukan pada sajian modern.
Makanya, tak heran kalah belakangan muncul tren memasak dengan teknik primitif, menggunakan arang, pada restoran di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Charkoal, restoran di SCBD besutan ISMAYA menjadi salah satu yang mempraktikkannya. Memang apa saja sih keistimewaan teknik yang belakangan jadi seni baru fine dining ini?
Penggunaan arang dalam menciptakan sajian tertentu, merupakan teknik yang telah eksis sejak pertama kali manusia menemukan cara mengolah makanan dengan api. Dalam sejumlah tempat, teknik ini dipakai untuk menciptakan sajian yang kaya rasa dan autentik. Misalnya saja di Asia Timur ataupun Amerika Latin. Seiring berjalannya waktu, berbagai teknologi modern yang memudahkan proses memasak hadir. Teknik ‘jadul’ ini pun mulai ditinggalkan.
Meski begitu, tren nostalgia kini terbit kembali di berbagai bidang. Di dunia kuliner, gaya memasak dengan menggunakan arang kembali populer di kalangan restoran fine dining. Tujuannya tak lain untuk menghadirkan pengalaman rasa yang lebih berkarakter. Penggunaan arang sebagai elemen tradisional dipadukan dengan sentuhan-sentuhan modern mampu membangkitkan harmoni antara cita rasa mendalam dengan elegansi penyajian. Dengan begitu, tak hanya cita rasa yang ditawarkan, tetapi juga estetika makanan.
Kalau membayangkan gaya masak ini sebagai metode dari masa lampau, mungkin kamu akan berpikir kalau penggunaan arang sebagai teknik yang mudah dan sederhana. Padahal tidak. Sebaliknya, memasak dengan arang membutuhkan skill yang cukup tinggi, apalagi bagi para chef yang bekerja di restoran fine dining. Misalnya saja, perlu keahlian untuk mengatur suhu dari bara arang. Soalnya, berbeda dengan kompor modern yang memungkinkan pengaturan suhu api yang presisi, tingkat kepanasan arang bersifat fluktuatif.
Makanya, memasak dengan elemen ini perlu insting dan keterampilan khusus, supaya panasnya bisa merata pada setiap bagian hidangan. Chef yang bertanggung jawab pun harus memahami karakteristik bahan yang digunakan. Sebagai contoh, daging lemak tinggi atau sayuran dengan tekstur keras butuh suhu dan waktu yang berbeda untuk mencapai tingkat kematangan yang sempurna.
Sebagai Chef Owner di Charkoal, Adhitia Pratama Julisiandi punya punya lebih dari cukup kemampuan dan intuisi untuk memimpin kitchen dengan tema spesial ini. Pengalaman yang dirintis sejak lebih dari satu dekade yang lalu, telah membentuk dirinya sebagai salah satu expert di bidang kuliner. Lewat kepiawaian Chef Adhit dalam meramu berbagai bahan makanan, tercipta berbagai sajian yang tak hanya memuaskan indra perasa dan pencium, namun juga penglihat.
Meski prosesnya terbilang ‘jadul’, hidangan yang diproses dengan teknik masak primitive, yakni menggunakan arang, tetap punya tempat istimewa di hati penikmat kuliner. Salah satu alasannya tentu saja karena aroma dan cita rasa khas yang dihadirkannya. Soalnya, arang punya kemampuan memberikan sentuhan smokey yang khas pada setiap bahan makanan.
Kombinasi antara panas yang diciptakan oleh bara yang menyatu dengan minyak atau lemak makanan menciptakan asap dengan aroma yang khas. Asap dengan aroma yang telah mencampurkan lemak makanan dan bara tersebut kemudian juga membentuk kompleksitas rasa yang dalam, serta tahan lama di lidah penikmatnya. Sensasi rasa ini sangat sulit ditiru dengan teknik memasak dengan teknologi modern.
Cita rasa dan aroma pada sajian yang dihasilkan dari teknik primitive-style cooking ini memberikan pengalaman tak terlupakan bagi para pengunjung Charkoal. Tak hanya sekadar memuaskan rasa lapar, cita rasa sajian yang diciptakan di restoran ini membawa para tamu seolah kembali ke masa lalu. Setiap suapan dan gigitan adalah kisah dari proses yang panjang dan terhubung dengan sejarah kuliner sejak era purba.
Metode memasak dengan arang seolah jadi simbol untuk kembali pada alam, serta menghargai sumber daya secara apa adanya. Lebih dari sekadar gaya, teknik ini memberikan pemaknaan yang mendalam. Di antara berbagai teknologi modern, primitive-style cooking mengingatkan para chef dan pecinta kuliner untuk tetap menghargai orisinalitas rasa alami.